Analisa Perjanjian Internasional Berbasis Lingkungan, PROTOKOL KYOTO
Ekonomi Lingkungan
Kyoto Protocol to the United Nations
Framework Convention
on Climate Change
on Climate Change
(Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim)
Protokol Kyoto adalah sebuah amendemen terhadap
Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan
internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi
protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan
lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika
mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah
dikaitkan dengan pemanasan global.
Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi
akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050.
(sumber: Nature, Oktober 2003).
Nama singkat :
"Climate Change-Kyoto Protocol"
Tanggal penandatanganan : 11 Desember
1997
Lokasi :
Kyoto, Jepang
Berlaku : 16 Februari
2005
Pihak : 181
negara dan Uni Eropa
Tujuan :
Mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menggalakkan
program-program nasional di berbagai negara yang bertujuan untuk reduksi emisi
gas rumah kaca tersebut dan menetapkan persentase target reduksi.
Protokol Kyoto dihasilkan dalam pertemuan ketiga Conference
of Parties (COP) UNFCCC pada tanggal 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang,
dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Yang menjadi perbedaan utama antara
Konvensi dan Protokol yaitu Konvensi akan mendorong negara – negara industri
untuk menstabilkan emisi GRK, sedangkan Protokol membuat mereka berkomitmen
untuk melakukannya. Bagi negara yang menandatangani dan meratifikasinya,
Protokol Kyoto akan mengikat secara hukum.
Protokol Kyoto memiliki masa komitmen yang akan
berakhir pada tahun 2012. Negara-negara penandatangan UNFCCC masih berada dalam
proses perumusan perjanjian baru yang akan meneruskan atau menggantikan
Protokol Kyoto setelah masa komitmen pertama berakhir. Untuk itu pada tahun
2007 telah dihasilkan Bali Roadmap yang melandasi perundingan internasional
dalam mencapai hal tersebut.
Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana
negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara
kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu
diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun
2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya
adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon
dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang
dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target
nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk
Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk
Australia dan 10% untuk Islandia.
Indonesia sebagai negara berkembang tidak dikenakan
kewajiban untuk menurunkan emisinya. Namun, sebagai negara kepulauan dengan
kegiatan ekonomi yang sebagian besar berbasis pada sumber daya alam, seperti
pertanian, perikanan dan kehutanan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Diperkirakan, sebesar 10 persen dari pendapatan nasional
Indonesia akan hilang akibat dampak perubahan iklim ini pada pertengahan abad
21 ini. Oleh karena itu, upaya adaptasi terhadap perubahan iklim sangatlah
penting untuk dilakukan dalam menyelamatkan kehidupan masyarakat di Indonesia.
Indonesia yang telah meratifikasi Protokol Kyoto pada
3 Desember 2004, melalui UU no. 17/ 2004, sesungguhnya akan menerima banyak
manfaat dari Protokol Kyoto. Melalui dana untuk adaptasi yang disediakan
melalui protokol ini, Indonesia bisa meningkatkan kemampuannya dalam
beradaptasi dengan dampak-dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan
laut, pergeseran garis pantai, musim kemarau yang semakin panjang, serta musim
hujan yang semakin pendek periodenya, namun semakin tinggi intensitasnya.
Protokol Kyoto menempatkan beban berat pada
negara-negara maju di bawah prinsip "common but differentiated
responsibilities", hal ini dikarenakan negara – negara maju lebih bertanggung
jawab atas tingginya tingkat emisi gas rumah kaca di atmosfer sebagai hasil
dari lebih dari 150 tahun dari kegiatan industri di negara – negara maju
tersebut.
Lampiran: Kyoto Protocol,