Pulau Lombok adalah sebuah pulau yang ngga akan habis untuk diceritakan. Ia seakan tak bertepi untuk dijamah keindahannya. Sebuah pilihan yang tepat untuk berlibur bersama orang-orang tersayang.
Jadi, sisihkan waktu Anda for few days, or maybe a week and more, book a ticket, and meet this stunning little Island.
Oke kita mulai. Sebelum scroll ke bawah lebih lanjut, biar ngga bingung dengan alur ceritanya, you should read the first chapter before continue reading the second one. (klik di sini)
“Ayoo… Bangun, Bun! Ayo bangun, Mbak… Subuh sudah tiba,” teriak mas Anto dari luar tenda.
Bukan hanya saya dan Bunda yang terbangun akibat alarm mas Anto, tapi seluruh penghuni tenda di sekitar pos 2 juga ikut melek. Aduh, porter macam dia ini memang hadir begitu complete. Ibarat martabak, manis, mas Anto ini yang special lengkap dengan kacang dan extra keju.
Pagi itu di pos 2 terbilang cukup dingin. Ya memang sudah sewajarnya karena kami sedang berada di dataran tinggi. Dingin tersebut justru mengundang kami untuk segera keluar tenda untuk bertemu matahari yang masih sembunyi di ufuk timur.
Kata mas Anto, di pos 2 ini sunrisenya emang bagus sebab si Cantik (read: Gunung Rinjani) terlihat dengan jelas. Dan memang benar.
Masya Allah, duduk manis dengan secangkir susu coklat hangat sambil menyaksikan seberkas cahaya perlahan menyapa Gunung Rinjani. Hati mana yang tak terpana oleh ciptaan-Nya. Ah, jika kurang fokus mungkin Anda tidak ingin pergi dari pos 2.
Seusai menikmati sajian alam yang luar biasa itu, kami segera sarapan dan mulai mengemasi barang bawaan kami.
Tepat pukul 9.30, kami kembali melanjutkan perjalanan.
“Tenang, Mbak. Pos 2 ke pos 3 ngga sejauh dari gerbang ke pos 1 kok.” kata Mas Anto.
Secara ngga langsung itu artinya,“Kalau yang tadi jauhan aja saya bisa sampai, masa yang deketan ini ngga?”
Ah, semangat pun berkibar dengan kencang. Kaki saya sudah terbiasa dengan medan yang naik-turun. I’m getting used to it, I am. Saling bahu-membahu sama Bunda tiap kali merasa menyerah.
Berhubung we are not in a rush, jadi saya dan Bunda bisa istirahat kapanpun kita merasa kesulitan mengejar napas.
Pukul 11.00 kami sudah sampai di pos 3. Benar juga nih kata mas Anto, memang ngga terlalu jauh. Medannya pun cukup adil, naik turunnya sebanding dengan yang jalanan datar. Rehat sejenak untuk meneguk air dan menghela napas.
Istirahat untuk 15 menit dan we’re back on track. Sekarang kita akan menuju sebuah bukit yang diberi nama Bukit Penyesalan. Wah… dari namanya saja nih bukit kayaknya horor gimana gitu.
Saya dan Bunda sudah mulai bermain dengan pikiran yang menerka-nerka, “Ini bukit medannya gimana ya? Kok sampai ada penyesalan di namanya,”. Ah, tapi saya dan Bunda sepakat kalau kita kan memang wonder women, apapun yang terjadi we do it as a team.
Di perjalanan keindahan alam tak ada bosannya menemani kami. Sebuah jurus jitu yang mampu mengusir lelah. Tak jarang kabut menyelimuti perjalanan kami.
Pohon-pohon menjulang tinggi. Saya acap kali merasa malu sebagai generasi muda. Jika nenek moyang terdahulu mampu menjaga alam ini agar anak cicitnya bisa menikmatinya, tapi apakah kami sebagai generasi penerus bisa seamanah mereka?
Jika tidak, mungkin kelak tulisan ini hanyalah sebuah dongeng yang tak lagi bisa dibuktikan kebenarannya
Sebelum tiba di bukit horor, kami melewati pos extra. Sebuah pos istirahat tambahan yang disiapkan sebelum bertamu ke Bukit Penyesalan. Kami pun menggunakan lokasi tersebut untuk menambal perut agar ada energi lagi untuk berjalan.
Tak butuh waktu lama, we are ready to go. Kami berjalan perlahan namun pasti. Tiap lika-liku perjalanan kami nikmati.
Medan pun mulai sedikit ekstrim. Kami jadi semakin jarang menemui jalanan datar. Yang ada hanya naik-naikan yang makin lama makin mendekati sudut 90 derajat.
Di tengah perjalanan, kami berjumpa begitu banyak porter yang memikul sebuah bamboo di pundaknya dan diikatkan beban pada tiap ujungnya.
Dengan medan yang semakin ekstrim, para porter justru semakin gigih. Bayangin, dengan barang pikulan yang ngga main-main beratnya, mereka dengan lihai melewati jalan tersebut.
Usia para porter pun bervariasi. Dari yang masih SD sampai yang sudah category over-age pun masih kuat memberi jasa tersebut. Nah, this is a kind of view that you won’t see in town.
Sedangkan kami? Yang hanya membawa mountain-stick dan sebuah pouch kecil di depan justru kesulitan berjalan. Di sini memang berlaku pepatah, “Bisa karena biasa.”
“Bunda… Mbak… gimana bukit penyesalannya? Susah ngga? Nyesel ngga?,” teriak mas Anto dari atas.
Saya dan Bunda kebingungan, lah yang mana bukit penyesalannya? Ternyata dari tadi jalur yang kami lewati itulah bukitnya. Tak heran medannya menantang dan cukup menguji kelihaian langkah kami.
Yeay, we did it, Bun. Bukit yang kita khawatirin justru terlewati tanpa merasakan pahitnya penyesalan. Usut punya usut, bukit ini konon titik di mana kebanyakan pendaki ingin menyerah.
Tapi letaknya nanggung, mau turun jauh, tapi sebaliknya mau lanjutin cuapek banget, dan memang lagi bentar nyampek.
Eits, tapi jangan seneng dulu. Setelah ini justru menurut saya dan Bunda medannya greget. Namanya Bukit Lendang Panas. Bukit ini tiada hentinya membentuk gundukan yang makin lama makin meningkat kemiringannya.
This is our last struggle before tiba di titik aman untuk bermalam, yakni Pelawangan Sembalun.
Medannya memang bukan main. Jika boleh memilih, saya ingin menyerah waktu itu. Tapi, saya mulai berbicara dengan diri sendiri, “This is what you want, right? So, why giving up, Lys?”
Dengan tekad yang kuat, saya lanjut melangkahkan kaki. Ada beberapa aturan yang saya buat sendiri untuk melewati medan ini. Rule number one: never look up, just enjoy the journey.
Rule number two: talk to people to sweep away the tiredness. And rule number three: remember the first reason you wanted to be there. And it really works.
Ngga kerasa obrolan santai sepanjang jalan bersama teman baru sembari menikmati view menakjubkan ternyata menghantarkan saya dengan selamat ke Pelawangan Sembalun.
Setibanya di atas sana, saya disambut oleh nyanyian selamat ulangtahun dari teman-teman pendaki dari berbagai wilayah. Cukup mengherankan.
Terlintas dibenak, darimana mereka tahu? Ternyata Bunda sempat memberitahu ke beberapa pendaki lainnya bahwa perjalanan menuju Gunung Rinjani ini adalah kado untuk putrinya.
How sweet my Mum is. She knows how to make her little daughter happy.
Lupakan mengenai nyanyian tersebut, kami segera mendatangi tenda yang sudah didirikan oleh mas Anto. Dinginnya Pelawangan Sembalun menembus tulang. Untung mas Anto sempat mencarikan kami kayu bakar untuk api unggun.
Sehingga malam itu saya lebih banyak menghabiskan waktu di depan api unggun. Selain karena dingin, mana mungkin saya melewatkan momen duduk di bawah ribuan, bahkan milyaran bintang yang begitu indah.
Benar-benar mahakarya Tuhan yang ngga cukup dituangkan dalam kata-kata. Bahkan tak mampu diungkapkan betapa bahagianya saya malam itu di bawah naungan langit malam Pelawangan Sembalun.
“Mbak… jadi mau muncak?,” tanya Mas Anto, “Kalau iya, nantai jam 2 dini hari kita berangkat ke sana.” sambil menunjuk ke arah puncak Gunung Rinjani.
Apakah yang terjadi selanjutnya? Apakah saya mampu menyelesaikan perjalanan ini? Tunggu jawabannya, ya, sobat travellers on the next week for the last chapter. By the way, Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Bagi yang Menjalankan. Sampai jumpa….